Sabtu, 23 April 2011

Locus of Control: Internal and External

Menurut Julian Rotter, a personality researcher, setiap orang memiliki pendapat yang beragam terkait dengan sejauh mana tanggung jawab mereka atas perilaku mereka dan konsekuensinya. (Robert Kreitner and Angelo Kinicki, Organizational Behavior,2007)
Individuals vary in terms of how much personal responsibility they take for their behavior and its consequences.

Mereka yang meyakini bahwa mereka memiliki kontrol atas kejadian dan konsekuensi yang mempengaruhi kehidupan mereka disebut memiliki internal locus of control. Sebagai contoh, individu dengan tipe ini akan beranggapan bahwa apabila dia berhasil lulus ujian dengan nilai baik adalah karena usahanya.

Sebaliknya, individu yang percaya bahwa yang terjadi dalam kehidupannya disebabkan oleh lingkungan diluar kendalinya disebut memiliki external locus of control. Berbeda dengan individu yang memiliki internal locus of control, maka individu dengan external locus of control akan beranggapan bahwa nilai ujian yang baik lebih disebabkan karena hal-hal diluar dirinya seperti misal dikarenakan soal-soal ujian yang mudah atau bila nilainya tidak baik disebabkan karena penilaian yang tidak fair.

Menurut hasil penelitian para ahli, terdapat perbedaan perilaku dalam bekerja antara internal dan external locus of control, seperti contoh berikut
  • Internal locus of control memperlihatkan motivasi kerja yang lebih tinggi.
  • Internal locus of control memiliki ekspektasi yang tinggi sehingga menghasilkan kinerja yang baik.
  • Internal locus of control memperlihatkan kinerja yang lebih tinggi dalam tugas-tugas yang melibatkan pembelajaran (learning) dan problem solving.
  • Terdapat hubungan yang kuat antara kepuasan kerja dengan kinerja baik untuk internal maupun external locus.
  • Internal locus of control memperoleh gaji lebih tinggi daripada external locus.
  • External cenderung lebih mudah cemas daripada internal
Apakah anda termasuk internal atau external locus of control?
Apabila anda termasuk internal locus of control, menurut para peneliti, supaya tidak menjadi pribadi yang sombong (arrogant) maka sebaiknya anda juga belajar untuk memiliki humility supaya tercipta keseimbangan dalam perilaku anda.
Humility is a realistic assessment of one's own contribution and the recognition of the contribution of  others, along with luck and good fortune that made one's own success possible. 

Dengan demikian anda akan menjadi individu yang memiliki prestasi tinggi namun tetap rendah hati karena tetap dapat menghargai peran orang lain dalam kesuksesan anda.

                                                                  -00-

Jumat, 22 April 2011

Practical tips to improve nonverbal communication

It is very important to have good nonverbal communication skill since it will relate to the development of individual positive interpersonal relationship which is in fact one of key success factors for our career.

Communication experts offer the following tips to improve nonverbal communication skills.

Positive Nonverbal Actions that help communication
  • Maintaining appropriate eye contact.
  • Occasionally using affirmative nods to indicate agreement.
  • Smiling and show interest.
  • Leaning slightly toward the speaker.
  • Keeping your voice low and relaxed.
  • Being aware of your facial expression.
Actions to avoid
  • Licking your lips or playing with your hair or mustache.
  • Turning away from the person you are communicating with.
  • Closing your eyes and displaying uninterested facial expressions such as yawning.
  • Excessively moving in your chair or tapping your feet.
  • Using an unpleasant tone and speaking too quickly or too slowly.
  • Biting your nails, picking your teeth, and constantly adjusting your glasses.
                                                                -00-

Minggu, 17 April 2011

Kesalahan yang umum dilakukan dalam proses wawancara (interview)

Most leaders in business today agree that it's the people who make the difference and that the competitor with the best talent will win.

Untuk mendapatkan karyawan yang baik maka proses rekrutmen menjadi sangat krusial dalam perusahaan. Rekrutmen yang dilakukan dengan benar akan dapat mengidentifikasi kandidat yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan organisasi. Salah satu tahap yang sangat penting dalam proses rekrutmen adalah wawancara, yang mana dalam tahap ini dibutuhkan ketrampilan untuk dapat menggali informasi terkait dengan kompetensi yang dimiliki oleh kandidat.

George S. Hallenbeck Jr dan Robert W. Echninger (2006) dalam bukunya, Interviewing Right, menyebutkan beberapa kesalahan yang sering dilakukan dalam proses wawancara
  • Kurangnya persiapan. Tanpa adanya pemahaman yang jelas tentang pekerjaan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk menjalankan pekerjaan tsb, maka interviewer tidak akan dapat menjalankan proses wawancara dengan maksimal karena menjadi kurang fokus dalam pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada kandidat.
  • Terlalu menekankan pada kesan pertama. Salah satu studi menyebutkan bahwa sebagian besar interviewer mengambil keputusan berdasarkan kesan mereka pada 3 menit pertama bertemu dengan kandidat. Akibatnya,  informasi penting seringkali menjadi terlewatkan atau tidak sempat muncul dalam percakapan.
  • Tidak cukup mengumpulkan data. Mencatat informasi atau data yang muncul dalam proses wawancara seringkali sangat terbatas. Padahal catatan tsb akan sangat dibutuhkan pada saat proses pengambilan keputusan.
  • Membuat terlalu banyak catatan negatif. Seringkali interviewer lebih banyak mencatat hal-hal negatif dari kandidat sehingga akan sulit untuk menilai secara obyektif.
  • Berasumsi bisa diperbaiki nanti. Interviewer yang berpendapat bahwa kekurangan dari kandidat bisa diperbaiki nanti sambil berjalan seringkali hanya fokus pada ketrampilan teknis dan mengesampingkan kekurangan dalam ketrampilan interpersonal yang mungkin dapat menimbulkan masalah di kemudian hari.
  • Terlalu menekankan pada kecocokan (fit). Kecocokan antara karakter kandidat dengan perusahaan dan kultur perusahaan memang sangat penting. Namun demikian, perlu diseimbangkan dengan faktor-faktor lainnya.
  • Fokus pada perilaku yang tidak relevan. Seringkali interviewer terbawa oleh perilaku tertentu yang dimiliki oleh kandidat, seperti misal kandidat yang pintar dalam berkomunikasi. Namun apabila perilaku tersebut tidak penting dalam pekerjaan yang dibutuhkan maka perilaku tersebut menjadi tidak relevan.
  • Pertanyaan-pertanyaan yang bias/mengarahkan. Bahkan interviewer yang berpengalaman seringkali menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang tertutup, yang membutuhkan jawaban ya atau tidak dari kandidat. Hal ini membuat kandidat tidak dapat memberikan informasi yang kemungkinan penting bagi interviewer.
  • Pengambilan keputusan dan evaluasi yang tergesa-gesa. Proses interview yang telah dijalankan dengan baik akan menjadi sia-sia apabila proses pengambilan keputusan dilakukan dengan tergesa-gesa karena keterbatasan waktu dan informasi yang ada.
Kesalahan-kesalahan yang umum dilakukan tersebut diatas dapat diminimalisir dengan menerapkan pendekatan proses interview yang terstruktur dan berbasis kompetensi.