Membaca tulisan Rene Suhardono di harian Kompas, 13 Agustus 2011, yang berjudul The Only Motivator For You = You! membuat saya sejenak berpikir apa yang menjadi motivasi saya untuk tetap bekerja selama lebih dari 15 tahun walaupun seringkali timbul perasaan jenuh dan capek. Dan hasilnya saya sangat setuju dengan tulisan Rene bahwa motivasi harus muncul dari diri sendiri bukan dari orang lain. Setelah saya telaah, motivasi saya bekerja ternyata lebih karena memang saya ingin menjadi seorang wanita yang mandiri dari sisi finansial, tidak tergantung pada pasangan hidup saya, dan sekaligus memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri sebagai individu. Karena alasan itu maka saya tetap bisa memotivasi diri saya sendiri untuk tetap berkarir dan tetap menjalankan peran saya sebagai seorang ibu.
Hal lain yang membuat saya berpikir adalah bagaimana kalau kita harus memotivasi orang lain? Sebagai contoh, peran saya di bagian SDM membuat saya harus dapat menjaga motivasi karyawan supaya tetap bersemangat dalam bekerja. Seringkali kita dihadapkan pada kenyataan bahwa karyawan mudah sekali merasa ter-demotivasi karena terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan di perusahaan seperti misal pergantian pimpinan, perubahan kebijakan.
Maka dalam situasi seperti tersebut diatas, apa yang disampaikan Rene menjadi sangat relevan bahwa sebaiknya kita sebagai individu dapat memotivasi diri kita sendiri supaya tetap semangat dalam bekerja walaupun situasi mungkin sedang tidak menyenangkan. Tetapkanlah tujuan dalam bekerja dan tetaplah fokus pada tujuan tersebut. Kita tidak bisa mengharapkan orang lain bisa memotivasi kita, kita sendirilah yang harus dapat memotivasi diri kita sendiri dengan selalu fokus pada tujuan kita.
Berbagi pengalaman, pengetahuan,dan pendapat tentang Human Resources Management
Sabtu, 13 Agustus 2011
Minggu, 15 Mei 2011
Inspiring speech
Salah satu contoh pidato seorang leader yang memberikan inspirasi
If there is anyone out there who still doubts thatAmerica is a place where all things are possible; who still wonders if the dream of our founders is alive in our time; who still questions the power of our democracy, tonight is your answer.
It's the answer told by lines that stretched around schools and churches in numbers this nation has never seen; by people who waited three hours and four hours, many for the very first time in their lives, because they believed that this time must be different; that their voice could be that difference.
It's the answer spoken by young and old, rich and poor, Democrat and Republican, black, white, Latino, Asian, Native American, gay, straight, disabled and not disabled - Americans who sent a message to the world that we have never been a collection of Red States and Blue States: we are, and always will be, the United States of America.
It's the answer that led those who have been told for so long by so many to be cynical, and fearful, and doubtful of what we can achieve to put their hands on the arc of history and bend it once more toward the hope of a better day.
It's been a long time coming, but tonight, because of what we did on this day, in this election, at this defining moment, change has come to America.
If there is anyone out there who still doubts that
It's the answer told by lines that stretched around schools and churches in numbers this nation has never seen; by people who waited three hours and four hours, many for the very first time in their lives, because they believed that this time must be different; that their voice could be that difference.
It's the answer spoken by young and old, rich and poor, Democrat and Republican, black, white, Latino, Asian, Native American, gay, straight, disabled and not disabled - Americans who sent a message to the world that we have never been a collection of Red States and Blue States: we are, and always will be, the United States of America.
It's the answer that led those who have been told for so long by so many to be cynical, and fearful, and doubtful of what we can achieve to put their hands on the arc of history and bend it once more toward the hope of a better day.
It's been a long time coming, but tonight, because of what we did on this day, in this election, at this defining moment, change has come to America.
Sabtu, 30 April 2011
Sabtu, 23 April 2011
Locus of Control: Internal and External
Menurut Julian Rotter, a personality researcher, setiap orang memiliki pendapat yang beragam terkait dengan sejauh mana tanggung jawab mereka atas perilaku mereka dan konsekuensinya. (Robert Kreitner and Angelo Kinicki, Organizational Behavior,2007)
Mereka yang meyakini bahwa mereka memiliki kontrol atas kejadian dan konsekuensi yang mempengaruhi kehidupan mereka disebut memiliki internal locus of control. Sebagai contoh, individu dengan tipe ini akan beranggapan bahwa apabila dia berhasil lulus ujian dengan nilai baik adalah karena usahanya.
Sebaliknya, individu yang percaya bahwa yang terjadi dalam kehidupannya disebabkan oleh lingkungan diluar kendalinya disebut memiliki external locus of control. Berbeda dengan individu yang memiliki internal locus of control, maka individu dengan external locus of control akan beranggapan bahwa nilai ujian yang baik lebih disebabkan karena hal-hal diluar dirinya seperti misal dikarenakan soal-soal ujian yang mudah atau bila nilainya tidak baik disebabkan karena penilaian yang tidak fair.
Menurut hasil penelitian para ahli, terdapat perbedaan perilaku dalam bekerja antara internal dan external locus of control, seperti contoh berikut
Apabila anda termasuk internal locus of control, menurut para peneliti, supaya tidak menjadi pribadi yang sombong (arrogant) maka sebaiknya anda juga belajar untuk memiliki humility supaya tercipta keseimbangan dalam perilaku anda.
Dengan demikian anda akan menjadi individu yang memiliki prestasi tinggi namun tetap rendah hati karena tetap dapat menghargai peran orang lain dalam kesuksesan anda.
-00-
Individuals vary in terms of how much personal responsibility they take for their behavior and its consequences.
Mereka yang meyakini bahwa mereka memiliki kontrol atas kejadian dan konsekuensi yang mempengaruhi kehidupan mereka disebut memiliki internal locus of control. Sebagai contoh, individu dengan tipe ini akan beranggapan bahwa apabila dia berhasil lulus ujian dengan nilai baik adalah karena usahanya.
Sebaliknya, individu yang percaya bahwa yang terjadi dalam kehidupannya disebabkan oleh lingkungan diluar kendalinya disebut memiliki external locus of control. Berbeda dengan individu yang memiliki internal locus of control, maka individu dengan external locus of control akan beranggapan bahwa nilai ujian yang baik lebih disebabkan karena hal-hal diluar dirinya seperti misal dikarenakan soal-soal ujian yang mudah atau bila nilainya tidak baik disebabkan karena penilaian yang tidak fair.
Menurut hasil penelitian para ahli, terdapat perbedaan perilaku dalam bekerja antara internal dan external locus of control, seperti contoh berikut
- Internal locus of control memperlihatkan motivasi kerja yang lebih tinggi.
- Internal locus of control memiliki ekspektasi yang tinggi sehingga menghasilkan kinerja yang baik.
- Internal locus of control memperlihatkan kinerja yang lebih tinggi dalam tugas-tugas yang melibatkan pembelajaran (learning) dan problem solving.
- Terdapat hubungan yang kuat antara kepuasan kerja dengan kinerja baik untuk internal maupun external locus.
- Internal locus of control memperoleh gaji lebih tinggi daripada external locus.
- External cenderung lebih mudah cemas daripada internal
Apabila anda termasuk internal locus of control, menurut para peneliti, supaya tidak menjadi pribadi yang sombong (arrogant) maka sebaiknya anda juga belajar untuk memiliki humility supaya tercipta keseimbangan dalam perilaku anda.
Humility is a realistic assessment of one's own contribution and the recognition of the contribution of others, along with luck and good fortune that made one's own success possible.
Dengan demikian anda akan menjadi individu yang memiliki prestasi tinggi namun tetap rendah hati karena tetap dapat menghargai peran orang lain dalam kesuksesan anda.
-00-
Jumat, 22 April 2011
Practical tips to improve nonverbal communication
It is very important to have good nonverbal communication skill since it will relate to the development of individual positive interpersonal relationship which is in fact one of key success factors for our career.
Communication experts offer the following tips to improve nonverbal communication skills.
Positive Nonverbal Actions that help communication
Communication experts offer the following tips to improve nonverbal communication skills.
Positive Nonverbal Actions that help communication
- Maintaining appropriate eye contact.
- Occasionally using affirmative nods to indicate agreement.
- Smiling and show interest.
- Leaning slightly toward the speaker.
- Keeping your voice low and relaxed.
- Being aware of your facial expression.
- Licking your lips or playing with your hair or mustache.
- Turning away from the person you are communicating with.
- Closing your eyes and displaying uninterested facial expressions such as yawning.
- Excessively moving in your chair or tapping your feet.
- Using an unpleasant tone and speaking too quickly or too slowly.
- Biting your nails, picking your teeth, and constantly adjusting your glasses.
Minggu, 17 April 2011
Kesalahan yang umum dilakukan dalam proses wawancara (interview)
Most leaders in business today agree that it's the people who make the difference and that the competitor with the best talent will win.
Untuk mendapatkan karyawan yang baik maka proses rekrutmen menjadi sangat krusial dalam perusahaan. Rekrutmen yang dilakukan dengan benar akan dapat mengidentifikasi kandidat yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan organisasi. Salah satu tahap yang sangat penting dalam proses rekrutmen adalah wawancara, yang mana dalam tahap ini dibutuhkan ketrampilan untuk dapat menggali informasi terkait dengan kompetensi yang dimiliki oleh kandidat.
George S. Hallenbeck Jr dan Robert W. Echninger (2006) dalam bukunya, Interviewing Right, menyebutkan beberapa kesalahan yang sering dilakukan dalam proses wawancara
Untuk mendapatkan karyawan yang baik maka proses rekrutmen menjadi sangat krusial dalam perusahaan. Rekrutmen yang dilakukan dengan benar akan dapat mengidentifikasi kandidat yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan organisasi. Salah satu tahap yang sangat penting dalam proses rekrutmen adalah wawancara, yang mana dalam tahap ini dibutuhkan ketrampilan untuk dapat menggali informasi terkait dengan kompetensi yang dimiliki oleh kandidat.
George S. Hallenbeck Jr dan Robert W. Echninger (2006) dalam bukunya, Interviewing Right, menyebutkan beberapa kesalahan yang sering dilakukan dalam proses wawancara
- Kurangnya persiapan. Tanpa adanya pemahaman yang jelas tentang pekerjaan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk menjalankan pekerjaan tsb, maka interviewer tidak akan dapat menjalankan proses wawancara dengan maksimal karena menjadi kurang fokus dalam pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada kandidat.
- Terlalu menekankan pada kesan pertama. Salah satu studi menyebutkan bahwa sebagian besar interviewer mengambil keputusan berdasarkan kesan mereka pada 3 menit pertama bertemu dengan kandidat. Akibatnya, informasi penting seringkali menjadi terlewatkan atau tidak sempat muncul dalam percakapan.
- Tidak cukup mengumpulkan data. Mencatat informasi atau data yang muncul dalam proses wawancara seringkali sangat terbatas. Padahal catatan tsb akan sangat dibutuhkan pada saat proses pengambilan keputusan.
- Membuat terlalu banyak catatan negatif. Seringkali interviewer lebih banyak mencatat hal-hal negatif dari kandidat sehingga akan sulit untuk menilai secara obyektif.
- Berasumsi bisa diperbaiki nanti. Interviewer yang berpendapat bahwa kekurangan dari kandidat bisa diperbaiki nanti sambil berjalan seringkali hanya fokus pada ketrampilan teknis dan mengesampingkan kekurangan dalam ketrampilan interpersonal yang mungkin dapat menimbulkan masalah di kemudian hari.
- Terlalu menekankan pada kecocokan (fit). Kecocokan antara karakter kandidat dengan perusahaan dan kultur perusahaan memang sangat penting. Namun demikian, perlu diseimbangkan dengan faktor-faktor lainnya.
- Fokus pada perilaku yang tidak relevan. Seringkali interviewer terbawa oleh perilaku tertentu yang dimiliki oleh kandidat, seperti misal kandidat yang pintar dalam berkomunikasi. Namun apabila perilaku tersebut tidak penting dalam pekerjaan yang dibutuhkan maka perilaku tersebut menjadi tidak relevan.
- Pertanyaan-pertanyaan yang bias/mengarahkan. Bahkan interviewer yang berpengalaman seringkali menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang tertutup, yang membutuhkan jawaban ya atau tidak dari kandidat. Hal ini membuat kandidat tidak dapat memberikan informasi yang kemungkinan penting bagi interviewer.
- Pengambilan keputusan dan evaluasi yang tergesa-gesa. Proses interview yang telah dijalankan dengan baik akan menjadi sia-sia apabila proses pengambilan keputusan dilakukan dengan tergesa-gesa karena keterbatasan waktu dan informasi yang ada.
Selasa, 01 Maret 2011
Kultur atau Budaya Perusahaan
Dalam salah satu proses wawancara calon karyawan di perusahaan tempat saya bekerja, ada pertanyaan yang cukup menarik dari salah seorang kandidat. Ceritanya kandidat tersebut pernah punya pengalaman kerja di sebuah perusahaan asing yang berasal dari negara yang sama dengan perusahaan tempat saya bekerja, kemudian dia menanyakan apakah kultur perusahaan disini (maksudnya di tempat saya bekerja) sama dengan perusahaan tempat dia bekerja dulu karena sama-sama dari negara yang sama. Pertanyaan ini menjadi menarik bagi saya karena bukan pertama kali saya dengar, pertanyaan serupa seringkali saya terima dari calon karyawan. Pertanyaan terkait dengan kultur atau budaya perusahaan. Ternyata kultur atau budaya perusahaan juga menjadi hal penting yang menjadi pertimbangan bagi calon karyawan sebelum menentukan apakah dia akan masuk ke perusahaan tersebut.
Apalah kultur perusahaan dan mengapa sangat penting bagi karyawan untuk mengetahuinya?
Menurut Kreitner and Kinicki dalam Organizational Behavior (2007), Budaya perusahaan atau organizational culture adalah shared values and beliefs that underlie a company's identity. Budaya perusahaan adalah nilai-nilai dan keyakinan yang dikomunikasikan kepada karyawan dan menjadi identitas perusahaan. Kultur perusahaan terbentuk oleh empat komponen utama yaitu nilai-nilai yang dianut oleh pendiri perusahaan, lingkungan industri dan bisnis, kultur nasional, dan visi serta perilaku pemimpin senior. Kultur perusahaan kemudian mempengaruhi proses/kebijakan perusahaan sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi sikap, perilaku serta motivasi karyawan. Kultur perusahaan dapat termanifestasi dari cara berpakaian karyawan, nilai-nilai perusahaan yang dipublikasikan, penghargaan-penghargaan yang diberikan pada karyawan, dekorasi-dekorasi yang ada dsb. Selain dari hal-hal yang bisa dengan mudah kita lihat tersebut, kultur perusahaan juga dapat kita rasakan dengan cara mengetahui emosi dan motivasi karyawan di perusahaan tersebut. Apabila emosi atau motivasi sebagian besar karyawan rendah maka bisa dipastikan bahwa kultur perusahaan tersebut kurang efektif, kemungkinan bahwa ada ketidak selarasan antara nilai-nilai individu dengan nilai-nilai perusahaan sehingga mempengaruhi motivasi karyawan.
Beberapa studi memperlihatkan kultur perusahaan sangat berkolerasi dengan sikap dan perilaku karyawan. Hasil studi juga memperlihatkan bahwa keselarasan atau harmoni antara nilai-nilai individu dan nilai-nilai perusahaan sangat memiliki keterkaitan dengan komitmen perusahaan, kepuasan kerja, dan tingkat keluar masuk (turnover) karyawan. Dengan demikian pertanyaan calon karyawan tersebut diatas terkait dengan kultur perusahaan sangatlah wajar dan sangat penting untuk menentukan apakah bergabung dengan perusahaan tersebut atau tidak. Sebagai contoh bagi seorang individu yang sangat menghargai respek terhadap sesama tentu akan merasa tidak nyaman berada di lingkungan kerja yang tidak menganut nilai-nilai tersebut. Demikian pula apabila perusahaan memiliki nilai-nilai yang mengutamakan respek terhadap karyawan maka juga harus memilih individu yang menganut nilai-nilai tersebut untuk menghindari konflik di kemudian hari antara yang tercantum dalam nilai-nilai perusahaan dengan pelaksanaan.
Calon karyawan dapat mengumpulkan informasi mengenai kultur sebuah perusahaan dengan bertanya kepada pihak2 yang relevan, mengamati, membaca artikel-artikel maupun nilai-nilai perusahaan dan merasakan emosi dari para karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut.
-o-
Apalah kultur perusahaan dan mengapa sangat penting bagi karyawan untuk mengetahuinya?
Menurut Kreitner and Kinicki dalam Organizational Behavior (2007), Budaya perusahaan atau organizational culture adalah shared values and beliefs that underlie a company's identity. Budaya perusahaan adalah nilai-nilai dan keyakinan yang dikomunikasikan kepada karyawan dan menjadi identitas perusahaan. Kultur perusahaan terbentuk oleh empat komponen utama yaitu nilai-nilai yang dianut oleh pendiri perusahaan, lingkungan industri dan bisnis, kultur nasional, dan visi serta perilaku pemimpin senior. Kultur perusahaan kemudian mempengaruhi proses/kebijakan perusahaan sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi sikap, perilaku serta motivasi karyawan. Kultur perusahaan dapat termanifestasi dari cara berpakaian karyawan, nilai-nilai perusahaan yang dipublikasikan, penghargaan-penghargaan yang diberikan pada karyawan, dekorasi-dekorasi yang ada dsb. Selain dari hal-hal yang bisa dengan mudah kita lihat tersebut, kultur perusahaan juga dapat kita rasakan dengan cara mengetahui emosi dan motivasi karyawan di perusahaan tersebut. Apabila emosi atau motivasi sebagian besar karyawan rendah maka bisa dipastikan bahwa kultur perusahaan tersebut kurang efektif, kemungkinan bahwa ada ketidak selarasan antara nilai-nilai individu dengan nilai-nilai perusahaan sehingga mempengaruhi motivasi karyawan.
Beberapa studi memperlihatkan kultur perusahaan sangat berkolerasi dengan sikap dan perilaku karyawan. Hasil studi juga memperlihatkan bahwa keselarasan atau harmoni antara nilai-nilai individu dan nilai-nilai perusahaan sangat memiliki keterkaitan dengan komitmen perusahaan, kepuasan kerja, dan tingkat keluar masuk (turnover) karyawan. Dengan demikian pertanyaan calon karyawan tersebut diatas terkait dengan kultur perusahaan sangatlah wajar dan sangat penting untuk menentukan apakah bergabung dengan perusahaan tersebut atau tidak. Sebagai contoh bagi seorang individu yang sangat menghargai respek terhadap sesama tentu akan merasa tidak nyaman berada di lingkungan kerja yang tidak menganut nilai-nilai tersebut. Demikian pula apabila perusahaan memiliki nilai-nilai yang mengutamakan respek terhadap karyawan maka juga harus memilih individu yang menganut nilai-nilai tersebut untuk menghindari konflik di kemudian hari antara yang tercantum dalam nilai-nilai perusahaan dengan pelaksanaan.
Calon karyawan dapat mengumpulkan informasi mengenai kultur sebuah perusahaan dengan bertanya kepada pihak2 yang relevan, mengamati, membaca artikel-artikel maupun nilai-nilai perusahaan dan merasakan emosi dari para karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut.
-o-
Jumat, 11 Februari 2011
Menjadi Individu Yang Efektif
Mengacu pada Stephen R. Covey's The 7 Habits of Highly Effective People definisi efektivitas adalah keseimbangan antara produksi (hasil yang diinginkan) dengan kemampuan produksi. Individu yang efektif adalah individu yang dapat menyeimbangkan kedua hal tersebut dalam kehidupannya baik kehidupan personal maupun kehidupan profesional. Dalam bukunya, Stephen menyebutkan bahwa untuk menjadi efektif, kita harus dapat mengembangkan 7 kebiasaan-kebiasaan yang dapat mendorong perilaku kita menjadi pribadi yang efektif, yaitu
1. Menjadi proaktif
Individu proaktif memfokuskan upaya mereka dalam lingkaran pengaruh yaitu pada hal-hal yang kita dapat perbuat sesuatu terhadapnya bukan pada hal-hal yang tidak bisa kita kontrol. Sifat dari energi mereka adalah positif sehingga pada akhirnya dapat memperlebar lingkaran pengaruhnya. Individu proaktif mampu memberikan respons positif terhadap kejadian atau situasi yang dihadapinya.
2. Merujuk pada tujuan akhir
Dalam implementasinya perilaku ini dapat diwujudkan dalam beragam bentuk antara lain membuat misi, target, tujuan dsb. Dengan menetapkan tujuan akhir baik untuk kehidupan personal kita maupun dalam bisnis maka tindakan-tindakan kita akan jadi lebih terarah.
3. Dahulukan yang utama
Perilaku ini melatih kebiasaan untuk dapat membagi waktu berdasarkan prioritas dari aktivitas yang harus kita jalani dalam 4 kuadran yaitu 1) Penting dan Mendesak, 2) Penting tidak Mendesak, 3) Tidak Penting dan Mendesak; dan 4) Tidak Penting dan Tidak Mendesak. Dalam keterbatasan waktu yang ada maka dahulukan kuadran 1 dan 2 terlebih dahulu. Aktivitas disebut Penting bila ada kaitan langsung dengan tujuan kita, disebut Mendesak apabila harus segera dilaksanakan.
4. Berpikir Menang/Menang
Menang/Menang adalah kerangka pikiran dan hati yang terus menerus mencari keuntungan bersama dalam semua interaksi manusia. Dengan solusi Menang/Menang, semua pihak merasa senang dengan keputusannya dan merasa terikat dengan rencana tindakannya.
5. Berusaha Mengerti Terlebih Dahulu, Baru Dimengerti
Jika kita ingin berinteraksi secara efektif dengan orang lain, maka kita perlu terlebih dahulu memahami mereka. Salah satu cara untuk memahami adalah dengan mendengarkan secara empatik, secara sungguh-sungguh dan tulus untuk memahami situasi atau masalah yang dihadapi oleh orang tsb. Dalam hubungan yang sudah dilandasi oleh kepercayaan maka komunikasi akan dapat berjalan lebih lancar dan efektif.
6. Wujudkan Sinergi
Ketika kita berkomunikasi secara sinergistik, kita benar-benar membuka pikiran, hati dan ekspresi kita kepada kemungkinan baru, alternatif baru, pilihan baru.
7. Asahlah Gergaji
Perilaku ini terkait dengan semangat untuk selalu melakukan pembaruan dalam kualitas diri kita secara terus menerus. Proses pembaruan diri harus mencakup pembaruan yang seimbang pada keempat dimensi sifat kita: fisik, spiritual, mental. dan sosial/emosional.
Kebiasaan-kebiasaan tersebut diatas adalah kebiasaan-kebiasaan mendasar yang dapat menjadi pedoman bagi kita untuk menjadi individu yang efektif baik dalam kehidupan personal maupun profesional kita.
1. Menjadi proaktif
Individu proaktif memfokuskan upaya mereka dalam lingkaran pengaruh yaitu pada hal-hal yang kita dapat perbuat sesuatu terhadapnya bukan pada hal-hal yang tidak bisa kita kontrol. Sifat dari energi mereka adalah positif sehingga pada akhirnya dapat memperlebar lingkaran pengaruhnya. Individu proaktif mampu memberikan respons positif terhadap kejadian atau situasi yang dihadapinya.
2. Merujuk pada tujuan akhir
Dalam implementasinya perilaku ini dapat diwujudkan dalam beragam bentuk antara lain membuat misi, target, tujuan dsb. Dengan menetapkan tujuan akhir baik untuk kehidupan personal kita maupun dalam bisnis maka tindakan-tindakan kita akan jadi lebih terarah.
3. Dahulukan yang utama
Perilaku ini melatih kebiasaan untuk dapat membagi waktu berdasarkan prioritas dari aktivitas yang harus kita jalani dalam 4 kuadran yaitu 1) Penting dan Mendesak, 2) Penting tidak Mendesak, 3) Tidak Penting dan Mendesak; dan 4) Tidak Penting dan Tidak Mendesak. Dalam keterbatasan waktu yang ada maka dahulukan kuadran 1 dan 2 terlebih dahulu. Aktivitas disebut Penting bila ada kaitan langsung dengan tujuan kita, disebut Mendesak apabila harus segera dilaksanakan.
4. Berpikir Menang/Menang
Menang/Menang adalah kerangka pikiran dan hati yang terus menerus mencari keuntungan bersama dalam semua interaksi manusia. Dengan solusi Menang/Menang, semua pihak merasa senang dengan keputusannya dan merasa terikat dengan rencana tindakannya.
5. Berusaha Mengerti Terlebih Dahulu, Baru Dimengerti
Jika kita ingin berinteraksi secara efektif dengan orang lain, maka kita perlu terlebih dahulu memahami mereka. Salah satu cara untuk memahami adalah dengan mendengarkan secara empatik, secara sungguh-sungguh dan tulus untuk memahami situasi atau masalah yang dihadapi oleh orang tsb. Dalam hubungan yang sudah dilandasi oleh kepercayaan maka komunikasi akan dapat berjalan lebih lancar dan efektif.
6. Wujudkan Sinergi
Ketika kita berkomunikasi secara sinergistik, kita benar-benar membuka pikiran, hati dan ekspresi kita kepada kemungkinan baru, alternatif baru, pilihan baru.
7. Asahlah Gergaji
Perilaku ini terkait dengan semangat untuk selalu melakukan pembaruan dalam kualitas diri kita secara terus menerus. Proses pembaruan diri harus mencakup pembaruan yang seimbang pada keempat dimensi sifat kita: fisik, spiritual, mental. dan sosial/emosional.
Kebiasaan-kebiasaan tersebut diatas adalah kebiasaan-kebiasaan mendasar yang dapat menjadi pedoman bagi kita untuk menjadi individu yang efektif baik dalam kehidupan personal maupun profesional kita.
Kamis, 10 Februari 2011
Nilai-nilai Individu vs Nilai-nilai Organisasi
Bagaimana supaya SDM dengan latar belakang dan motivasi yang berbeda bisa bekerjasama dengan baik dalam sebuah organisasi sehingga dapat menciptakan sebuah organisasi yang sukses? Banyak penelitian telah dilakukan oleh para ahli Organizational Behavior untuk menjawab pertanyaan tersebut. Salah satu hasil penelitian menyebutkan bahwa individu-individu dalam sebuah organisasi dapat bekerja efektif apabila mereka memiliki nilai-nilai, tujuan yang sama dalam bekerja. Menurut para ahli, konflik seringkali terjadi karena adanya perbedaan antara nilai-nilai individu dengan nilai-nilai organisasi/perusahaan. Ketika individu dalam organisasi merasa bahwa nilai-nilai pribadi mereka sama atau selaras dengan nilai-nilai organisasi maka akan terwujud kepuasan, komitmen, kesuksesan dan tingkat turnover yang rendah.
Yang menjadi masalah bagi praktisi SDM adalah tidak mudah untuk mendapatkan SDM yang memiliki nilai-nilai yang sama dengan nilai-nilai perusahaan, sehingga akhirnya menjadi tanggung jawab organisasi untuk membuat SDM yang ada dalam organisasi untuk mengikuti nilai-nilai perusahaan dan pada saat yang sama berusaha untuk dapat menciptakan program-program yang dapat mengakomodir nilai-nilai pribadi yang beragam. Beberapa program yang sering diterapkan untuk mengurangi konflik nilai-nilai antara lain career counseling, team building, flexible working hours.
Yang menjadi masalah bagi praktisi SDM adalah tidak mudah untuk mendapatkan SDM yang memiliki nilai-nilai yang sama dengan nilai-nilai perusahaan, sehingga akhirnya menjadi tanggung jawab organisasi untuk membuat SDM yang ada dalam organisasi untuk mengikuti nilai-nilai perusahaan dan pada saat yang sama berusaha untuk dapat menciptakan program-program yang dapat mengakomodir nilai-nilai pribadi yang beragam. Beberapa program yang sering diterapkan untuk mengurangi konflik nilai-nilai antara lain career counseling, team building, flexible working hours.
Jumat, 04 Februari 2011
Dalam bukunya Organizational Behavior (2007), Robert Kreitner dan Angelo Kinicki menyebutkan bahwa organizations are a social invention helping us to achieve things collectively that we could not achieve alone. Sebuah organisasi memiliki tujuan yang akan dicapai secara bersama-sama. Setiap anggota dalam organisasi harus memiliki semangat yang sama untuk mencapai tujuan organisasi. Situasinya menjadi kompleks karena masing-masing anggota memiliki latar belakang dan motivasi yang berbeda ketika bergabung dengan sebuah organisasi sehingga seringkali terjadi konflik antara anggota organisasi. Apabila konflik sering terjadi maka kinerja organisasi secara keseluruhanpun akan terpengaruh dan menjadi tidak efektif. Salah satu tolok ukur sebuah organisasi disebut efektif adalah apabila organisasi tersebut dapat mencapai tujuan atau sasarannya. Bagaimana organisasi dapat mencapai tujuannya? Dengan menjalankan aktivitas-aktivitas yang ditujukan untuk mencapai tujuan. Siapa yang menjalankan aktivitas tersebut? Sumber daya manusia yang ada dalam organisasi tersebut. Dengan demikian jelas bahwa SDM yang tepat akan sangat menentukan apakah sebuah organisasi dapat efektif atau tidak. Lantas SDM yang seperti apakah yang dapat memberikan kontribusi pada organisasi supaya dapat mencapai tujuannya.
Kamis, 03 Februari 2011
Sumber Daya Manusia sebagai aset Perusahaan
Pendapat bahwa Sumber Daya Manusia (SDM) adalah aset perusahaan sudah sering kita dengar dan baca. Para pemimpin perusahaan pun sering menyampaikan hal tersebut dalam beberapa kesempatan untuk meyakinkan karyawan bahwa keberadaan mereka sangat penting bagi perusahaan. Tanpa keberadaan mereka perusahaan akan kesulitan dalam menjalankan bisnisnya karena merekalah (baca: manusia) yang menjalankan roda perusahaan. It is People who run the Business.
Namun demikian masih banyak karyawan yang menganggap bahwa pendapat tersebut hanya sebatas slogan saja, masih jauh dari kenyataan. Mengapa demikian, dimana letak kesalahannya? Mengutip dari beberapa sumber, masalah terjadi apabila ada kesenjangan antara ekspektasi dan kenyataan. Dengan demikian bisa juga kita tarik kesimpulan bahwa sikap sebahagian besar karyawan yang skeptis terhadap pernyataan bahwa mereka adalah aset perusahaan bisa jadi karena adanya kesenjangan antara pernyataan dengan kebijakan perusahaan yang dianggap tidak mencerminkan hal tersebut. Terutama ketika perusahaan harus mengambil tindakan pemutusan hubungan kerja. Karyawan mulai mempertanyakan apakah seperti ini bisa disebut memperlakukan karyawan sebagai aset perusahaan, bukankah sebagai aset seharusnya dijaga dan diperhatikan dengan sebaik-baiknya.
Kita, sebagai karyawan, tidak boleh lupa bahwa sebuah perusahaan memiliki rules of the game yang harus diikuti oleh team yang ada di dalamnya. Bagi perusahaan yang berorientasi laba (profit) maka sudah jelas tujuannya adalah mencapai laba. Perusahaan tersebut hanya akan menganggap karyawan adalah aset apabila karyawan tersebut dapat mengikuti aturan main yang ada dalam perusahaan dan dapat memberikan kontribusi untuk mencapai laba, apabila tidak maka perusahaan akan mencoret karyawan tersebut dari daftar aset karena dianggap tidak dapat memberikan kontribusi.
Oleh karena itu, supaya tetap bisa dianggap menjadi aset perusahaan maka karyawan juga harus membuktikan bahwa dirinya memiliki kualifikasi menjadi aset. Bagaimana caranya? Dengan tetap mengembangkan kemampuan diri sehingga dapat mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi dalam perusahaan.
Siapa yang bertanggung jawab untuk pengembangan karyawan, karyawan sendiri atau perusahaan? Kita akan bicarakan hal tersebut dalam topik berikutnya bagaiman menjadi karyawan/individu yang efektif di tempat kerja.
Namun demikian masih banyak karyawan yang menganggap bahwa pendapat tersebut hanya sebatas slogan saja, masih jauh dari kenyataan. Mengapa demikian, dimana letak kesalahannya? Mengutip dari beberapa sumber, masalah terjadi apabila ada kesenjangan antara ekspektasi dan kenyataan. Dengan demikian bisa juga kita tarik kesimpulan bahwa sikap sebahagian besar karyawan yang skeptis terhadap pernyataan bahwa mereka adalah aset perusahaan bisa jadi karena adanya kesenjangan antara pernyataan dengan kebijakan perusahaan yang dianggap tidak mencerminkan hal tersebut. Terutama ketika perusahaan harus mengambil tindakan pemutusan hubungan kerja. Karyawan mulai mempertanyakan apakah seperti ini bisa disebut memperlakukan karyawan sebagai aset perusahaan, bukankah sebagai aset seharusnya dijaga dan diperhatikan dengan sebaik-baiknya.
Kita, sebagai karyawan, tidak boleh lupa bahwa sebuah perusahaan memiliki rules of the game yang harus diikuti oleh team yang ada di dalamnya. Bagi perusahaan yang berorientasi laba (profit) maka sudah jelas tujuannya adalah mencapai laba. Perusahaan tersebut hanya akan menganggap karyawan adalah aset apabila karyawan tersebut dapat mengikuti aturan main yang ada dalam perusahaan dan dapat memberikan kontribusi untuk mencapai laba, apabila tidak maka perusahaan akan mencoret karyawan tersebut dari daftar aset karena dianggap tidak dapat memberikan kontribusi.
Oleh karena itu, supaya tetap bisa dianggap menjadi aset perusahaan maka karyawan juga harus membuktikan bahwa dirinya memiliki kualifikasi menjadi aset. Bagaimana caranya? Dengan tetap mengembangkan kemampuan diri sehingga dapat mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi dalam perusahaan.
Siapa yang bertanggung jawab untuk pengembangan karyawan, karyawan sendiri atau perusahaan? Kita akan bicarakan hal tersebut dalam topik berikutnya bagaiman menjadi karyawan/individu yang efektif di tempat kerja.
Langganan:
Postingan (Atom)